Kamis, 24 Mei 2012

PUISI PERPISAHAN UNTUK GURU

 
PUISI PERPISAHAN UNTUK GURU
(oleh: Hamiddin)

Assalamu’alaikum wahai cahaya yang berpendar di malam buta
Assaalamu’alaikum wahai pahlawan tanpa jasa
Assalamu’alaikum merah putihnya Indonesia…guru-guru kami

Di malam yang pekat
tak terasa waktu semakin mendekat
sementara angin terus berdzikir
menyaksikan kami yang masih fakir
dalam menyusuri jalan-jalan para musafir
dalam mengistirahkan takbir
dan menyingkap tabir
ilmu pengetahuan

wahai guru-guru kami
ketika kami lupa mengaji kalian membacakan kami nafiri
ketika kami tak tahu daratan kalian menancapkan mencusuar
ketika kami hilang haluan, kalian beri kami kemudi kerinduan
ketika kami lepas kendali kalian tanamkan jangkar hati dan kecintaan

Runcing rindu semakin tajam
Ketika malam terbalut kelam
Kami murid-muridmu menghaturkan salam
Terima kasih dan ma’af kami yang paling dalam

wahai guru-guru kami
terima kasih telah berbagi dengan kami
meski hanya secangkir kopi yang kalian beri
kental ilmu dan ikhlasmu akan berdenyut dalam nadi-nadi kami
meski sekerat alif yang kalian guratkan pada bongkahan otak kami
meteor alifmu akan menghantarkan kami menjelajahi mega galaksi
meski hanya setetes kearifan yang kalian tebarkan
bunga-bunga bangsa akan bermekaran dan semerbak mayang

malam ini, suatu malam yang sangat berarti
tiga tahun lamanya kami belajar mengaji
tiga tahun lamanya kami mencari solusi
demi masa depan kami esok hari
untuk hidup yang lebih berarti

wahai bapak-ibu guru kami
malam ini, sebelum kami berangkat
leburlah kami dengan kata ma’af
hantarkan kami dengan restu kalian
agar kelak kami bisa memungut bintang
di langit lain, di belahan bumi lain

wahai-wahai guru-guru kami
dengan simpuh kami berharap
ikhlaskan kami menjadi ayat-ayat
yang akan dibaca orang setiap sholat
singsisngkan kami menjadi matahari
yang setiap pagi hangatnya selalu dicari
rebahkan kami menjadi rembulan
yang setiap percikan cahayanya dirindukan tiap malam

wahai guru-guru kami
kata ma’af kami haturkan
terima kasih kami tuturkan
dengan ikhlasmu
kami akan melesat secepat meteor alifmu
amien......

Malang, 21 Mei 2010

MEMBERI


MEMBERI
oleh: Hamiddin

Ketika memberi
jangan berpaling lagi
bergegaslah pergi
untuk sampai pada hati

Malang, 9 Pebruari 2010
(ibnu_syam@yahoo.com)

TENTANG BUNGA


TENTANG BUNGA
: Azhar (Masalembu)

oleh: Hamiddin

Kutahu warnamu merah merekah
ketika kuncup kau berdzikir
ketika mekar kau berfikir
ketika semerbak kau bertutur

Dari sudut mataku, warnamu memang merah merona
dari teleskop hatiku, kau putih
seputih salju tapi tidak dinginnya
seputih warna tapi bukan atributnya

Ketika wangimu menyeruap
bersama seduan kopi pagiku
aku tak sampai pada putikmu
aku tak sampai pada sarimu
aku tak sampai pada semerbak wangimu

Dari sudut sempit pagiku
aku akan berangkat pada siangmu
dan membiarkanmu tumbuh di malam-malamku
aku akan hijrah,
dari ulat, kepompong hingga kupu-kupu

terima kasih bunga…

Malang, 9 Pebruari 2010

Sabtu, 19 Mei 2012

KUSAMBUT HANGAT TUTURMU, MESKI KUSAMPAI DI UJUNG RINDUMU


KUSAMBUT HANGAT TUTURMU, MESKI KUSAMPAI DI UJUNG RINDUMU
Hamiddin


Dari gerbang subuh
Kusampaikan salam
Selamat pagi wahai matahariku
Kami sambut hangat tuturmu

angin terisak diantara jemari daun kelapa
debur ombak mengawali langkah kita
mengukir huruf-huruf di antara karang dan pasir
agar kelak tak lupa
bagaimana cara meraih cita-cita

di halaman depan,
beribu makna terpendam di sini
ada guru yang rela memberi tak mengharap kembali
ada guru yang berbagi tak mengharap budi
ada teman-teman yang saling mengerti
tak saling membenci

di bait-bait hari
waktu itu telah sampai
pada hari dimana semua akan jadi kenangan
dimana semua menjadi saksi
bahwa langkah kita bermula dari sini
untuk terus menggapai hari
bahwa kita beranjak dari almamater ini
untuk meraih yang kita cari
bahwa kita belajar mengeja huruf-huruf
hingga menjadi tutur kita yang arif

menjelang senja
kami rangkai salam
Selamat sore wahai matahariku
Kami telah sampai di ujung rindumu

Sebelum benar-benar malam
dan matahari terkatup di kelopak sore
Kami haturkan salam wahai guru-guru kami
Terima kasih atas jasa-jasamu
Terima kasih atas merah kasihmu
Terima kasih atas putih iklasmu
Terima kasih atas tutur bijakmu
Terima kasih atas apapun yang telah kau berikan pada kami
Wahai guru-guru kami ….
Ma’afkan ronta nakal kami
Ma’afkan tutur kotor kami
Ma’afkan salah dan khilaf kami
Hari ini
Kami telah sampai, kami telah tuntaskan
Maka izinkan kami melangkah
Melanjutkan perjalanan kami
Ikhlaskan ilmu kalian
Agar terang jalan gelap kami
Dalam meraih cita-cita
Untuk kami abdikan bagi nusa dan bangsa

Hari-hari telah letih
Angin sesekali menampung perih
Hari ini kami hendak pergi
Jangan teteskan air mata
Bacakanlah doa
Biarkan kami berangkat
Menggapai cita-cita

Terima kasih wahai guru-guru kami
(puisi ini untuk perpisahan siswa-siswa)
Malang, 27-04-2008

Berangkatlah Wahai Camar-Camarku


Berangkatlah Wahai Camar-Camarku

Hamiddin

Teriring basmalah....
Pintu-pintu musim kuketuk dengan gelisah
Awan membalut malam
bulan menyayat kelam
angin merangkum tubuhku dalam dingin
letupan nafiri ilahi sesekali mengiang di telinga
gerimis rindu semakin deras membasahi tanah batinku

wahai...anak-anakku
tak terasa waktu telah berlalu
lihatlah laut semakin membiru
sebiru nafas, canda dan senyummu
selengkap kenangan di hari-hari lalu
sebentar lagi kalian akan beranjak
melangkahkan kaki menggapai mimpi
meninggalkan jejak meraih harap
hati-hatilah di jalan
dan jangan lupa jalan pulang.....

wahai...anak-anakku
kelak di tengah jalan akan banyak tikungan
carilah jalan lurus untuk menggenapkan keganjilan
arungilah lautan ilmu dengan dayung ketekunan
dakilah tebing-tebing pengetahuan dengan tali rendah diri dan sabar
niscaya kalian akan sampai
pada harapan dan cita-cita kalian

wahai…anak-anakku…
kalian telah sampai...
disini saja kami mengantar...
bersama do’a dan sedikit bekal dari kami
Berangkatlah wahai camar-camarku
Rentangkan sanyap mungilmu
Tataplah matahari dengan tajam matamu
Terjanglah badai angin dengan segenap ilmumu
Jangan pulang sebelum kalian menemukan matahari kalian
Jangan kembali sebelum fajar mimpi kalian benar-benar pagi

Wahai...anak-anakku..
Jadilah orang baik, pandai dan berakhlak
Patuhilah orang tua, sayangilah mereka
Hormati yang tua, cintailah yang muda
Bekalilah diri kalian dengan pengetahuan dan ilmu
Kelak kami ingin melihat matahari kalian
Bersinar di pagi hari kalian.....

di pelabuhan Juni
kapal-kapal bersandar menantimu
arungilah laut seluas dahagamu
hingga kalian pulang dengan sekerinjing harapan
untuk membangun pulau kecil ini
menjadi megapolitan ilmu dan peradaban

Wahai...anak-anakku...
Berangkatlah....berangkatlah .....berangkatlah wahai anak-anaku
Do’a kami selalu menyertaimu....
Amin.....

Malang, 08-06-2008
(Puisi diatas untuk puisi perpisahan anak sekolah)

Surat Cinta kepada I'M


Cintaku I’M
di kebun cinta berputik rindu

Dalam ayunan Pedang Cinta dan Keikhlasan Ibrahim:
putihkan hati
dengan tidak saling membenci
dan Peluk Aku Dalam Hangat Cintamu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dari rahim seorang perempuan pilihan, dia dilahirkan bersama kemarau, bersama pelepah kurma yang mengering, bersama desiran angin gurun sahara, dan kekeringan yang melanda dunia mengiringi tangis kecilnya. Bayi laki-laki itu lahir sebagai bentuk cinta, kasih dan sayang seorang hamba yang mengemban amanat Allah untuk menebarkan benih-benih ketulusan. Tangisnya menggema merontokkan dunia, sementara bait-bati tangisnya adalah do’a untuk kemaslahatan dunia. Kemudian bayi itu diberi nama Isma’il.
Siti Hajar (ibunya) mulai lelah mencari setetes air untuk menuntaskan tangis dan rasa haus putra tercintanya, ketika sumur-sumur mengering dan rindang pepohonan berubah menjadi ranting-ranting kering, dari kaki Isma’il memancarlah sumber mata air kehidupan, Zam-Zam namanya. Sumber air dari kaki Isma’il menunjukkan bahwa dia adalah manusia pilihan yang kelak diutus untuk menyampaikan kalam-kalam cinta Allah terhadap umat manusia.
Bersama gumpalan waktu, bersama terik matahari, bersama kerontangnya hati-hati manusia, Isma’il kecil tumbuh memasuki masa kanak-kanak, sebuah masa yang cukup dimengerti oleh dirinya sendiri, sebuah masa dimana senyum dan tangisnya adalah kepolosan sebagai manusia sesungguhnya.
Angin sesekali membasuh wajah agungnya, hembusan padang pasir menemani hari-harinya, langkah mungil seorang Isma’il memberi bekas pada peradaban dunia, sebuah kisah yang dimulai dari mimpi, kemudian diwujudkan sebagai perlambang putihnya hati, kesungguhan melaksanakan amanat, tulusnya memberi, dan ikhlas menerima apa yang akan terjadi.
Bulan lahir dari rahim langit, meski tak utuh tapi wajahnya terang membasuh gelap gulita. Gemerisik daun-daun kering, hembusan nafiri angin malam menjadi permulaan diperintahkannya seorang Nabi untuk menuntaskan tugas dari Allah. Di malam ini, 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim, dalam tidurnya, beliau diberi isyarat untuk menyempurnakan keimanannya dengan perintah untuk menyembelih putranya, Isma’il. Sebagai seorang manusia, Nabi Ibrahim terkejut dan tak percaya bahwa apa yang diperintahkan melalui mimpi adalah perintah yang datangnya dari Allah. Dari ketidakpercayaan akan mimpi tersebut, mulai tumbuh benih-benih keragun-raguan di hati Nabi Ibrahim. Dari benih-benih keraguan di hati Nabi Ibrahim, hari tersebut disebut sebagai hari keragu-raguan (tarwiyah).
Pada hari ini, umat Islam kemudian disunnahkan berpuasa, sebagai bentuk penyucian diri dan mengenang pelajaran bahwa seorang Nabi pun adalah manusia biasa yang memiliki keragu-raguan akan pilihan-pilihan hidup, bahwa manusia diingatkan untuk mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum manusia mengambil keputusan akan suatu masalah, karena keputusan yang terburu-buru bisa jadi membuahkan penyesalan dalam pohon hidupnya di masa-masa yang akan datang. Untuk kemudian membuang keraguan yang sering kita hadapi, kita sebagai manusia harus bisa menggunakan akal dan hati yang bersih untuk menentukan pilihan dalam sebuah keraguan, dalam segala aspek kehidupan.
9 Dzulhijjah, Hari terus melipat bajunya, waktu bergulir bersama pasir-pasir yang dibawa angin, fatamorgana lautan panas menipu manusia, semakin dikejar semakin jauh menghilang, sementara matahari mulai meredupkan diri di ufuk rindunya, senja melanda, malam pun melampiaskan keinginannya untuk membalut dunia dengan gelap gulita. Keraguan Nabi Ibrahim masih rimbun, beliau kembali berfikir keras dan bertanya-tanya dalam hati, benarkah mimpi itu adalah perintah dari Allah. Dalam keraguan yang masih menghijau, Nabi Ibrahimpun kembali berenang di lautan tidurnya, mimpi yang sama seperti malam sebelumnya kembali hadir dalam tidur beliau, perintah untuk menyembelih putra tercintanya, Nabi Isma’il. Mimpi untuk kedua kalinya telah merontokkan keraguan nabi Ibrahim dan menumbuhkan musim keyakinan, bahwa perintah yang beliau terima melalui mimpi benar-benar dari Allah untuk menguji kesabaran dan keikhlasan beliau. Tumbuhnya keyakinan Nabi Ibrahim akan perintah tersebut dikenal sebagai hari Arafah, sebuah hari dimana keraguan menjadi keyakinan, dimana kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan harus diperjuangkan oleh umat manusia untuk mencapai titik kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Tanggal 10 bulan Dzulhijjah, suatu waktu dimana Nabi Ibrahim akan menuntaskan dan melakukan perintah dari Allah. Di atas bongkahan batu, Nabi Ibrahim duduk menyaksikan putra tercintanya bermain, bersenda gurau bersama nafiri gurun pasir. Dalam hati, Nabi Ibrahim tidak tega dan seakan-akan berat untuk melaksanakan perintah tersebut. Pelan-pelan beliau menghampiri Nabi Isma’il, diusapnya rambutnya, Isma’ilpun merangkul ayahnya, sebuah pelukan sebagai perpisahan atau sebagai pertemuan yang tertunda. Dengan bibir getir, Ibrahim memberanikan diri menceritakan mimpi yang berupa perintah dari Allah. Dengan nada yang tegar beliau menyampaikan kepada putranya, dengan tutur bahasa yang lugas dan penjelasan yang bisa diterima oleh akal maupun hati, perlahan-lahan Nabi Ibrahim menceritakan mimpi tersebut dari awal hingga akhir. Setelah Nabi Ibrahim menyampaikan pesan mimpi tersebut, beliau bertanya pada putranya (Nabi Isma’il), “bagaimana menurutmu wahai putraku?” Dari bibir mungil Isma’il Tanya itupun terjawab “laksanakanlah wahai abiku, sebab itu perintah, dan aku rela menerima perintah tersebut demi sembah sujudku  pada Allah, karena aku merupakan titipan, dan suatu saat akan kembali pada pangkuan-Nya”.
Pada hari tersebut dilaksanakanlah perintah Allah oleh Nabi Ibrahim, mata Nabi Isma’il ditutupi kain putih. Dengan hati tegar dan ikhlas pedang cinta dan sujud Nabi Ibrahim beranjak dari sarungnya, kilatannya memecahkan batu-batu gunung, sebelum pedang tersebut menyentuh leher Nabi Isma’il, Allah mengutus Malaikat Jibril untuk mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba. Domba yang diganti oleh malaikat Jibril itulah yang kemudian dipotong sebagai bentuk pengorbanan dalam melaksanakan perintah Allah. Setelah penyembelihan korban tersebut gema takbir menggema sejagat raya, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lailaha illahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahi hamd, bunga-bunga padang pasir serentak mekar, wangi cinta terbentang dari fajar hingga ufuk barat, potongan senja merah jingga, sebait cinta diucapkan melalui kasih dan sayang mendalam.
Pada kisah ini ingin kuberbagi hikmah dengan Adek Millah menurut pandangan dan pengetahuan mas sendiri. Kisah yang mas sampaikan pada lembaran di atas, hanya penafsiran mas tentang kisah Idhul Adha versi mas. Di hari raya berlumur cinta ini, banyak bunga yang bisa kita petik menjadi kuntum-kuntum hikmah. Pertama, bahwa hidup harus diperjuangkan dengan kesungguhan hati. Kedua, dalam kesungguhan terangkum cinta, kasih dan sayang terhadap sesama, lebih-lebih pada orang terdekat. Ketiga, kunci dari hidup adalah ikhlas menerima dan memberi sesuatu untuk pengabdian terhadap Allah, pun dalam menjalin hubungan dengan sesama, karena tanpa ketulusan apa yang kita lakukan akan sia-sia dan nilai ibadahnya akan sirna.


I’m
Di hulu nyeri takbir rinduku
Biarkan aku bertutur:

Engkau Ibrahim
Aku Isma’il
Sembelih aku
Dengan sebilah cintamu
Dan berikan arti tulusmu
Dalam rangkuman cinta

Selamat Hari Raya Idul Adha, I’M 1427 H


Nafiri terima kasih
Aku lantunkan
Atas sabar jiwamu memutihkan hitamku
Atas ketulusan hatimu memberiku benih
Benih cinta di musim semi hidupku
Dan….
Ma’afkan atas diriku
Yang banyak memberimu luka
Luka rindu, luka cinta

Dalam genangan aroma cinta
Mari kita basuh dendam, benci dan sakit hati
Dengan saling berjabat tangan
Kemudian saling mema’afkan

Bersama takbir dalam gerimis
Mari tasbihkan cinta
Tawafkan rindu
Agar kiblat yang kita tuju
Menjadi pintu untuk memasuki
Cinta yang sesungguhnya, Amien.

Malang, 10 Dzulhijjah 1427 H, 31 Desember 2006

Wassalam …..




Hamiddin Syam