aku ingin mengusap embun di kelopaknya
Mata itu kembali menetap, membuka jendelanya, setelah semalaman ia terlelap bersama angin dan gerimis. Dari rahim mata itu lahirlah bayi-bayi mungil yang bernama kesedihan dan kegembiraan.Mata adalah teka-teki. Karenanya kita berspekulasi menebak makna embun bening yang luluh dari kelopaknya, entah itu gelisah atau riang, aku tak tahu, hanya ia yang tahu dan paham makna bahasa embun bening itu sendiri….
Ia
mulai beranjak dari tempat yang jauh, setelah seharian ruang korneanya
menyimpan ribuan enigma. Sebuah perjalanan kosong telah ia lalui, entah bersama
siapa, siapa yang ia ajak, dimana, dan mau kemana, tak ada yang tahu. Mata itu
mengajakku mengarungi sebuah telaga melalui tatapan hangatnya yang sampai detik
ini masih kurasakan. Telaga yang ingin ia kunjungi adalah gemuruh dimana segala
hasrat tumpah menggenangi kedalamannya. Aku tak bisa beranjak dan menolak
tatapan itu, ada magnet dan magma yang sewaktu-waktu bisa membuatku tak berdaya
apalagi tatapannya lebih dahsyat sejak pertama kali aku mengenalnya, sebuah
tatapan penuh dengan makna ganda.
Pada mata itu sebuah perjalanan seseorang
ditentukan, kehadirannya membuat dunia penuh cahaya dan warna-warna. Karenanya
ia memberi kita jalan kecil untuk menyusuri hutan-hutan kehidupan, mencari
jejak yang hilang, mengantarkan kita pada halte-halte pengembaraan. Pada mata
itu kita menumpukan harapan, tanpanya dunia adalah temaram, tak ada bulan, tak
bintang, tak ada bunga, tak ada perjalanan yang mengesankan. Maka, adalah wajar
bila kita mengatupkannya ketika lelah, menundukkanya ketika terlalu banyak
tengadah.
Lama aku menatap mata itu, sepasang mata yang
sewaktu-waktu membukanku pintu untuk mengenal lebih dalam tentang makna diri
yang memilikinya. Terkadang ia memberiku kesempatan untuk berimajinasi memasuki
ruang-ruang tubuh lain yang semestinya tidak perlu aku lakukan. Tapi apa boleh
buat, ketika aku terjebak pada cerminnya, aku tak bisa pergi, bahkan ia
membawaku mengelilingi semesta, mengarungi lautan asmara, dan menghempaskanku
seketika.
Pada bilik yang ia huni, ada kehangatan yang
tersembunyi, ada pagar yang tertata rapi, ada ruang untuk mencari mimpi dan
makna diri. Ia mengandung ribuan gejala, cuaca, musim, dan cerita kehidupan
yang tak terkatakan oleh kata-kata. Ia terkadang begitu misteri dan terkadang
begitu polos untuk mengatakan sesuatu. Ia telah meragukanku: benarkah yang ia
katakan benar adanya, seperti sifat dan warna yang khas ia miliki.
Mata itu adalah lembah tempatku mengasuh gelagat dan gelora alam. Mata
adalah cakrawala untuk menemukan dunia lain, dunia yang hanya bisa kita temukan
dalam dirinya. Mata adalah pelangi tempat mengeramnya warna-warni perjalanan
hidup manusia. Dari mata itu aku tahu siapa diriku, aku tahu apa yang mesti aku
katakan tentangnya, aku tahu bagaimana bercermin darinya, aku tahu bagaimana
cara memahami musim-musimnya. Sekarang, sudah waktunya aku pergi, menjauh
bahkan mengungsi darinya karena aku telah mengerti bahasa tatapannya, bahasa
redupnya, bahasa nanarnya dan bait-bait kedipannya. Sebentar, sebelum aku
benar-benar pergi, beri aku kesempatan untuk mengusap embun yang menggenangi
kelopaknya dan menatapnya untuk yang terakhir kali sebelum ia beranjak untuk
tidur panjangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar