IA
YANG MENGATUP,
JADILAH
KUTUB
Darinya aku memahami
kata-kata
Darinya aku
mulai menanam kecupan dan desahan
Darinya aku mengenal tutur
Darinya aku melahirkan
bisikan-bisikan
Sudah
lama aku memperhatikannya, bibir yang terkatup mengeram ribuan galaksi tempat
berotasinya planet-planet. Kutub-kutubnya membeku, butiran saljunya menjadi
musim gugur. Disanalah kemudian
bunga-bunga menyemai wanginya setelah lama ia memendam hasrat dalam rahim gigil
dan gelora untuk bertahan hidup. Guratannya mengembalikan aku pada masa lalu,
dimana debu-debu kuusap dan kukecap menjadi gelora, hingga aku bisa bertahan
lebih lama berada disampingnya. Jangan biarkan ia mengatup terlalu lama sebab
aku akan beranjak pergi meninggalkan dukanya.
Pernah
aku bertanya, kenapa embun enggan pergi darinya… aku terlalu lemah dan tak
berhasrat membiarkan ia sendiri, sebab aku telah menemukan ruang dan bilik
untuk melukis, mencipta puisi, merajut kenangan, memintal kesendirian, dan
menggali kelelakianku, jawabnya. Seperti itulah, jika lekukan dan kulumannya
dimaknai dengan satu bahasa, bahasa birahi penuh cinta bukan bahasa cinta penuh
sayang dan kata-kata mesra. Bagi siapa saja, dilarang menjadi penduduk tetap
dalam dirinya, carilah kota lain yang lebih pantas dan lebih bermakna, sebab
aku tak ingin orang lain memilikinya walau hanya getarnya yang bisa kurasakan
dari jauh, di ruang sunyi, sendiri.
Berhari-hari
aku menetap, menatap, dan berharap, suatu ketika aku akan memberi laut dan
serpihan mutiara agar kilatannya menaklukkan seisi jagad raya, biar seluruh
alam mengerti bahwa tak ada yang lebih berarti mengulumnya dengan bait-bait
puisi. Dari gelora laut di sela-selanya, aku ingin menyemai garam dan lokan,
sebab aku sudah lama mengadu rindu dan kegelisahan hanya untuk mencicipi
oksigen kesungguhan cintanya yang berhembus dari aroma mawar dan semerbak
melatinya. Bagiku ia bukan sedekar birahi atau kanvas yang sewaktu-waktu bisa
aku lukis dengan berbagai warna, ia adalah senjata untuk menaklukkan siapa
saja, termasuk diriku dan ia sendiri.
Ia
yang mengatup, jadilah kutub dan hanya aku yang boleh menggigil dalam deru
badainya. Ia adalah horisonku yang sewaktu-waktu mengatarkanku pada sebuah
teluk, tempat pertemuan dua dunia, kau dan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar