Sabtu, 19 Mei 2012

Surat Cinta kepada I'M


Cintaku I’M
di kebun cinta berputik rindu

Dalam ayunan Pedang Cinta dan Keikhlasan Ibrahim:
putihkan hati
dengan tidak saling membenci
dan Peluk Aku Dalam Hangat Cintamu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dari rahim seorang perempuan pilihan, dia dilahirkan bersama kemarau, bersama pelepah kurma yang mengering, bersama desiran angin gurun sahara, dan kekeringan yang melanda dunia mengiringi tangis kecilnya. Bayi laki-laki itu lahir sebagai bentuk cinta, kasih dan sayang seorang hamba yang mengemban amanat Allah untuk menebarkan benih-benih ketulusan. Tangisnya menggema merontokkan dunia, sementara bait-bati tangisnya adalah do’a untuk kemaslahatan dunia. Kemudian bayi itu diberi nama Isma’il.
Siti Hajar (ibunya) mulai lelah mencari setetes air untuk menuntaskan tangis dan rasa haus putra tercintanya, ketika sumur-sumur mengering dan rindang pepohonan berubah menjadi ranting-ranting kering, dari kaki Isma’il memancarlah sumber mata air kehidupan, Zam-Zam namanya. Sumber air dari kaki Isma’il menunjukkan bahwa dia adalah manusia pilihan yang kelak diutus untuk menyampaikan kalam-kalam cinta Allah terhadap umat manusia.
Bersama gumpalan waktu, bersama terik matahari, bersama kerontangnya hati-hati manusia, Isma’il kecil tumbuh memasuki masa kanak-kanak, sebuah masa yang cukup dimengerti oleh dirinya sendiri, sebuah masa dimana senyum dan tangisnya adalah kepolosan sebagai manusia sesungguhnya.
Angin sesekali membasuh wajah agungnya, hembusan padang pasir menemani hari-harinya, langkah mungil seorang Isma’il memberi bekas pada peradaban dunia, sebuah kisah yang dimulai dari mimpi, kemudian diwujudkan sebagai perlambang putihnya hati, kesungguhan melaksanakan amanat, tulusnya memberi, dan ikhlas menerima apa yang akan terjadi.
Bulan lahir dari rahim langit, meski tak utuh tapi wajahnya terang membasuh gelap gulita. Gemerisik daun-daun kering, hembusan nafiri angin malam menjadi permulaan diperintahkannya seorang Nabi untuk menuntaskan tugas dari Allah. Di malam ini, 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim, dalam tidurnya, beliau diberi isyarat untuk menyempurnakan keimanannya dengan perintah untuk menyembelih putranya, Isma’il. Sebagai seorang manusia, Nabi Ibrahim terkejut dan tak percaya bahwa apa yang diperintahkan melalui mimpi adalah perintah yang datangnya dari Allah. Dari ketidakpercayaan akan mimpi tersebut, mulai tumbuh benih-benih keragun-raguan di hati Nabi Ibrahim. Dari benih-benih keraguan di hati Nabi Ibrahim, hari tersebut disebut sebagai hari keragu-raguan (tarwiyah).
Pada hari ini, umat Islam kemudian disunnahkan berpuasa, sebagai bentuk penyucian diri dan mengenang pelajaran bahwa seorang Nabi pun adalah manusia biasa yang memiliki keragu-raguan akan pilihan-pilihan hidup, bahwa manusia diingatkan untuk mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum manusia mengambil keputusan akan suatu masalah, karena keputusan yang terburu-buru bisa jadi membuahkan penyesalan dalam pohon hidupnya di masa-masa yang akan datang. Untuk kemudian membuang keraguan yang sering kita hadapi, kita sebagai manusia harus bisa menggunakan akal dan hati yang bersih untuk menentukan pilihan dalam sebuah keraguan, dalam segala aspek kehidupan.
9 Dzulhijjah, Hari terus melipat bajunya, waktu bergulir bersama pasir-pasir yang dibawa angin, fatamorgana lautan panas menipu manusia, semakin dikejar semakin jauh menghilang, sementara matahari mulai meredupkan diri di ufuk rindunya, senja melanda, malam pun melampiaskan keinginannya untuk membalut dunia dengan gelap gulita. Keraguan Nabi Ibrahim masih rimbun, beliau kembali berfikir keras dan bertanya-tanya dalam hati, benarkah mimpi itu adalah perintah dari Allah. Dalam keraguan yang masih menghijau, Nabi Ibrahimpun kembali berenang di lautan tidurnya, mimpi yang sama seperti malam sebelumnya kembali hadir dalam tidur beliau, perintah untuk menyembelih putra tercintanya, Nabi Isma’il. Mimpi untuk kedua kalinya telah merontokkan keraguan nabi Ibrahim dan menumbuhkan musim keyakinan, bahwa perintah yang beliau terima melalui mimpi benar-benar dari Allah untuk menguji kesabaran dan keikhlasan beliau. Tumbuhnya keyakinan Nabi Ibrahim akan perintah tersebut dikenal sebagai hari Arafah, sebuah hari dimana keraguan menjadi keyakinan, dimana kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan harus diperjuangkan oleh umat manusia untuk mencapai titik kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Tanggal 10 bulan Dzulhijjah, suatu waktu dimana Nabi Ibrahim akan menuntaskan dan melakukan perintah dari Allah. Di atas bongkahan batu, Nabi Ibrahim duduk menyaksikan putra tercintanya bermain, bersenda gurau bersama nafiri gurun pasir. Dalam hati, Nabi Ibrahim tidak tega dan seakan-akan berat untuk melaksanakan perintah tersebut. Pelan-pelan beliau menghampiri Nabi Isma’il, diusapnya rambutnya, Isma’ilpun merangkul ayahnya, sebuah pelukan sebagai perpisahan atau sebagai pertemuan yang tertunda. Dengan bibir getir, Ibrahim memberanikan diri menceritakan mimpi yang berupa perintah dari Allah. Dengan nada yang tegar beliau menyampaikan kepada putranya, dengan tutur bahasa yang lugas dan penjelasan yang bisa diterima oleh akal maupun hati, perlahan-lahan Nabi Ibrahim menceritakan mimpi tersebut dari awal hingga akhir. Setelah Nabi Ibrahim menyampaikan pesan mimpi tersebut, beliau bertanya pada putranya (Nabi Isma’il), “bagaimana menurutmu wahai putraku?” Dari bibir mungil Isma’il Tanya itupun terjawab “laksanakanlah wahai abiku, sebab itu perintah, dan aku rela menerima perintah tersebut demi sembah sujudku  pada Allah, karena aku merupakan titipan, dan suatu saat akan kembali pada pangkuan-Nya”.
Pada hari tersebut dilaksanakanlah perintah Allah oleh Nabi Ibrahim, mata Nabi Isma’il ditutupi kain putih. Dengan hati tegar dan ikhlas pedang cinta dan sujud Nabi Ibrahim beranjak dari sarungnya, kilatannya memecahkan batu-batu gunung, sebelum pedang tersebut menyentuh leher Nabi Isma’il, Allah mengutus Malaikat Jibril untuk mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba. Domba yang diganti oleh malaikat Jibril itulah yang kemudian dipotong sebagai bentuk pengorbanan dalam melaksanakan perintah Allah. Setelah penyembelihan korban tersebut gema takbir menggema sejagat raya, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lailaha illahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahi hamd, bunga-bunga padang pasir serentak mekar, wangi cinta terbentang dari fajar hingga ufuk barat, potongan senja merah jingga, sebait cinta diucapkan melalui kasih dan sayang mendalam.
Pada kisah ini ingin kuberbagi hikmah dengan Adek Millah menurut pandangan dan pengetahuan mas sendiri. Kisah yang mas sampaikan pada lembaran di atas, hanya penafsiran mas tentang kisah Idhul Adha versi mas. Di hari raya berlumur cinta ini, banyak bunga yang bisa kita petik menjadi kuntum-kuntum hikmah. Pertama, bahwa hidup harus diperjuangkan dengan kesungguhan hati. Kedua, dalam kesungguhan terangkum cinta, kasih dan sayang terhadap sesama, lebih-lebih pada orang terdekat. Ketiga, kunci dari hidup adalah ikhlas menerima dan memberi sesuatu untuk pengabdian terhadap Allah, pun dalam menjalin hubungan dengan sesama, karena tanpa ketulusan apa yang kita lakukan akan sia-sia dan nilai ibadahnya akan sirna.


I’m
Di hulu nyeri takbir rinduku
Biarkan aku bertutur:

Engkau Ibrahim
Aku Isma’il
Sembelih aku
Dengan sebilah cintamu
Dan berikan arti tulusmu
Dalam rangkuman cinta

Selamat Hari Raya Idul Adha, I’M 1427 H


Nafiri terima kasih
Aku lantunkan
Atas sabar jiwamu memutihkan hitamku
Atas ketulusan hatimu memberiku benih
Benih cinta di musim semi hidupku
Dan….
Ma’afkan atas diriku
Yang banyak memberimu luka
Luka rindu, luka cinta

Dalam genangan aroma cinta
Mari kita basuh dendam, benci dan sakit hati
Dengan saling berjabat tangan
Kemudian saling mema’afkan

Bersama takbir dalam gerimis
Mari tasbihkan cinta
Tawafkan rindu
Agar kiblat yang kita tuju
Menjadi pintu untuk memasuki
Cinta yang sesungguhnya, Amien.

Malang, 10 Dzulhijjah 1427 H, 31 Desember 2006

Wassalam …..




Hamiddin Syam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar