Cintaku
I’M
di
kebun cinta berputik rindu
Dalam ayunan Pedang Cinta dan Keikhlasan Ibrahim:
putihkan hati
dengan tidak saling membenci
dan Peluk Aku Dalam Hangat Cintamu
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Dari
rahim seorang perempuan pilihan, dia dilahirkan bersama kemarau, bersama
pelepah kurma yang mengering, bersama desiran angin gurun sahara, dan
kekeringan yang melanda dunia mengiringi tangis kecilnya. Bayi laki-laki itu
lahir sebagai bentuk cinta, kasih dan sayang seorang hamba yang mengemban
amanat Allah untuk menebarkan benih-benih ketulusan. Tangisnya menggema
merontokkan dunia, sementara bait-bati tangisnya adalah do’a untuk kemaslahatan
dunia. Kemudian bayi itu diberi nama Isma’il.
Siti
Hajar (ibunya) mulai lelah mencari setetes air untuk menuntaskan tangis dan
rasa haus putra tercintanya, ketika sumur-sumur mengering dan rindang pepohonan
berubah menjadi ranting-ranting kering, dari kaki Isma’il memancarlah sumber
mata air kehidupan, Zam-Zam namanya. Sumber air dari kaki Isma’il menunjukkan
bahwa dia adalah manusia pilihan yang kelak diutus untuk menyampaikan
kalam-kalam cinta Allah terhadap umat manusia.
Bersama
gumpalan waktu, bersama terik matahari, bersama kerontangnya hati-hati manusia,
Isma’il kecil tumbuh memasuki masa kanak-kanak, sebuah masa yang cukup
dimengerti oleh dirinya sendiri, sebuah masa dimana senyum dan tangisnya adalah
kepolosan sebagai manusia sesungguhnya.
Angin
sesekali membasuh wajah agungnya, hembusan padang pasir menemani hari-harinya,
langkah mungil seorang Isma’il memberi bekas pada peradaban dunia, sebuah kisah
yang dimulai dari mimpi, kemudian diwujudkan sebagai perlambang putihnya hati,
kesungguhan melaksanakan amanat, tulusnya memberi, dan ikhlas menerima apa yang
akan terjadi.
Bulan
lahir dari rahim langit, meski tak utuh tapi wajahnya terang membasuh gelap
gulita. Gemerisik daun-daun kering, hembusan nafiri angin malam menjadi
permulaan diperintahkannya seorang Nabi untuk menuntaskan tugas dari Allah. Di
malam ini, 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim, dalam tidurnya, beliau diberi isyarat
untuk menyempurnakan keimanannya dengan perintah untuk menyembelih putranya,
Isma’il. Sebagai seorang manusia, Nabi Ibrahim terkejut dan tak percaya bahwa
apa yang diperintahkan melalui mimpi adalah perintah yang datangnya dari Allah.
Dari ketidakpercayaan akan mimpi tersebut, mulai tumbuh benih-benih
keragun-raguan di hati Nabi Ibrahim. Dari benih-benih keraguan di hati Nabi
Ibrahim, hari tersebut disebut sebagai hari keragu-raguan (tarwiyah).
Pada
hari ini, umat Islam kemudian disunnahkan berpuasa, sebagai bentuk penyucian
diri dan mengenang pelajaran bahwa seorang Nabi pun adalah manusia biasa yang
memiliki keragu-raguan akan pilihan-pilihan hidup, bahwa manusia diingatkan
untuk mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum manusia mengambil keputusan
akan suatu masalah, karena keputusan yang terburu-buru bisa jadi membuahkan
penyesalan dalam pohon hidupnya di masa-masa yang akan datang. Untuk kemudian
membuang keraguan yang sering kita hadapi, kita sebagai manusia harus bisa menggunakan
akal dan hati yang bersih untuk menentukan pilihan dalam sebuah keraguan, dalam
segala aspek kehidupan.
9
Dzulhijjah, Hari terus melipat bajunya, waktu bergulir bersama pasir-pasir yang
dibawa angin, fatamorgana lautan panas menipu manusia, semakin dikejar semakin
jauh menghilang, sementara matahari mulai meredupkan diri di ufuk rindunya,
senja melanda, malam pun melampiaskan keinginannya untuk membalut dunia dengan
gelap gulita. Keraguan Nabi Ibrahim masih rimbun, beliau kembali berfikir keras
dan bertanya-tanya dalam hati, benarkah mimpi itu adalah perintah dari Allah.
Dalam keraguan yang masih menghijau, Nabi Ibrahimpun kembali berenang di lautan
tidurnya, mimpi yang sama seperti malam sebelumnya kembali hadir dalam tidur
beliau, perintah untuk menyembelih putra tercintanya, Nabi Isma’il. Mimpi untuk
kedua kalinya telah merontokkan keraguan nabi Ibrahim dan menumbuhkan musim
keyakinan, bahwa perintah yang beliau terima melalui mimpi benar-benar dari
Allah untuk menguji kesabaran dan keikhlasan beliau. Tumbuhnya keyakinan Nabi
Ibrahim akan perintah tersebut dikenal sebagai hari Arafah, sebuah hari dimana
keraguan menjadi keyakinan, dimana kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan harus
diperjuangkan oleh umat manusia untuk mencapai titik kesempurnaan hidup di
dunia maupun di akhirat.
Tanggal
10 bulan Dzulhijjah, suatu waktu dimana Nabi Ibrahim akan menuntaskan dan
melakukan perintah dari Allah. Di atas bongkahan batu, Nabi Ibrahim duduk
menyaksikan putra tercintanya bermain, bersenda gurau bersama nafiri gurun
pasir. Dalam hati, Nabi Ibrahim tidak tega dan seakan-akan berat untuk
melaksanakan perintah tersebut. Pelan-pelan beliau menghampiri Nabi Isma’il,
diusapnya rambutnya, Isma’ilpun merangkul ayahnya, sebuah pelukan sebagai
perpisahan atau sebagai pertemuan yang tertunda. Dengan bibir getir, Ibrahim
memberanikan diri menceritakan mimpi yang berupa perintah dari Allah. Dengan
nada yang tegar beliau menyampaikan kepada putranya, dengan tutur bahasa yang
lugas dan penjelasan yang bisa diterima oleh akal maupun hati, perlahan-lahan
Nabi Ibrahim menceritakan mimpi tersebut dari awal hingga akhir. Setelah Nabi
Ibrahim menyampaikan pesan mimpi tersebut, beliau bertanya pada putranya (Nabi
Isma’il), “bagaimana menurutmu wahai putraku?” Dari bibir mungil Isma’il
Tanya itupun terjawab “laksanakanlah wahai abiku, sebab itu perintah, dan
aku rela menerima perintah tersebut demi sembah sujudku pada Allah, karena aku merupakan titipan, dan
suatu saat akan kembali pada pangkuan-Nya”.
Pada
hari tersebut dilaksanakanlah perintah Allah oleh Nabi Ibrahim, mata Nabi
Isma’il ditutupi kain putih. Dengan hati tegar dan ikhlas pedang cinta dan
sujud Nabi Ibrahim beranjak dari sarungnya, kilatannya memecahkan batu-batu
gunung, sebelum pedang tersebut menyentuh leher Nabi Isma’il, Allah mengutus
Malaikat Jibril untuk mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba. Domba yang
diganti oleh malaikat Jibril itulah yang kemudian dipotong sebagai bentuk
pengorbanan dalam melaksanakan perintah Allah. Setelah penyembelihan korban
tersebut gema takbir menggema sejagat raya, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Lailaha illahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahi hamd,
bunga-bunga padang pasir serentak mekar, wangi cinta terbentang dari fajar
hingga ufuk barat, potongan senja merah jingga, sebait cinta diucapkan melalui
kasih dan sayang mendalam.
Pada
kisah ini ingin kuberbagi hikmah dengan Adek Millah menurut pandangan dan
pengetahuan mas sendiri. Kisah yang mas sampaikan pada lembaran di atas, hanya
penafsiran mas tentang kisah Idhul Adha versi mas. Di hari raya berlumur cinta
ini, banyak bunga yang bisa kita petik menjadi kuntum-kuntum hikmah. Pertama,
bahwa hidup harus diperjuangkan dengan kesungguhan hati. Kedua, dalam
kesungguhan terangkum cinta, kasih dan sayang terhadap sesama, lebih-lebih pada
orang terdekat. Ketiga, kunci dari hidup adalah ikhlas menerima dan
memberi sesuatu untuk pengabdian terhadap Allah, pun dalam menjalin hubungan
dengan sesama, karena tanpa ketulusan apa yang kita lakukan akan sia-sia dan
nilai ibadahnya akan sirna.
I’m
Di
hulu nyeri takbir rinduku
Biarkan
aku bertutur:
Engkau
Ibrahim
Aku
Isma’il
Sembelih
aku
Dengan
sebilah cintamu
Dan
berikan arti tulusmu
Dalam
rangkuman cinta
Selamat Hari Raya Idul Adha, I’M 1427 H
Nafiri
terima kasih
Aku
lantunkan
Atas
sabar jiwamu memutihkan hitamku
Atas
ketulusan hatimu memberiku benih
Benih
cinta di musim semi hidupku
Dan….
Ma’afkan
atas diriku
Yang
banyak memberimu luka
Luka
rindu, luka cinta
Dalam
genangan aroma cinta
Mari
kita basuh dendam, benci dan sakit hati
Dengan
saling berjabat tangan
Kemudian
saling mema’afkan
Bersama
takbir dalam gerimis
Mari
tasbihkan cinta
Tawafkan
rindu
Agar
kiblat yang kita tuju
Menjadi
pintu untuk memasuki
Cinta
yang sesungguhnya, Amien.
Malang,
10 Dzulhijjah 1427 H, 31 Desember 2006
Wassalam
…..
Hamiddin Syam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar